Semua wartawan tentu ingin karya mereka orisinal.
Itu sebabnya kita berkecimpung di bidang ini. Jurnalisme adalah menyampaikan hal-hal baru ke publik, sesuatu yang memikat, yang menarik perhatian mereka.
Semua wartawan –bahkan wartawan senior atau wartawan kenamaan sekalipun- mengkhawatirkan derajat orisinalitas mereka.
Jurnalisme orisinal memerlukan keahlian, keahlian yang sebenarnya bisa dipelajari, sementara banyak yang beranggapan jurnalisme orisinal sulit dipraktikkan.
Para wartawan sekarang diharuskan menghasilkan lebih banyak berita dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
Dan tekanan untuk memproduksi berita bisa membuat Anda terjebak pada situasi yang rutin, di mana kegiatan Anda sebagian besar adalah memproses berita, bukan menemukan atau menginvestigasi.
Selain itu banyaknya informasi di internet juga membuat siapa pun bisa kesulitan menemukan kebenaran.
Cara Pikir dan Kebiasaan.
Orisinalitas membutuhkan tenaga, waktu, dan ketekunan. Ini bukan untuk orang yang malas atau yang bekerja dengan setengah hati.
Orisinalitas memerlukan kerja keras yang terus menerus. Ini bukan satu proses yang selesai dalam beberapa hari.
Makanya, untuk menghasilkan hasil jurnalistik yang orisinal, diperlukan perubahan cara pikir dan perubahan kebiasaan. Pilihan pada akhirnya ada di tangan Anda apakah ingin menghasilkan jurnalisme orisinal atau tidak.
Keingintahuan.
Ketika saya merancang kuliah umum dan lokakarya, saya berbicara dengan banyak orang. Saya berbicara dengan orang-orang yang sangat berpengalaman, baik itu editor, reporter, maupun peneliti untuk meminta masukan mereka.
Di daftar mereka, yang berada di urutan teratas adalah curiosity atau keingintahuan. Tanpa rasa ingin tahu, Anda hanya akan membuang-buang waktu. Keingintahuan adalah awal dari perjalanan menemukan berita.
“Jika Anda datang ke kantor tanpa ada gambaran berita di benak Anda, Anda perlu berlatih untuk menguasai seni menemukan berita.”
Masukan berikut disampaikan oleh salah satu anggota tim pemberitaan BBC Belfast:
“Seorang editor berjalan di satu ruas jalan sepanjang 400 meter dan ia mengklaim bisa menemukan berita paling banyak dibandingkan wartawan-wartawan lain. Berita tentang apa saja, mulai dari soal sampah yang berserakan, sistem parkir, jumlah mobil baru, petugas lalu lintas, kafe yang penuh dengan orang-orang yang merokok karena merokok di tempat kerja sekarang dilarang, toko-toko yang buka atau tutup, pengemis, gedung-gedung bersejarah.
Seberapa sering kita melewati proyek pembangunan dan kita tak pernah bertanya gedung apa yang sebenarnya mereka bangun?”
Editor lain mengatakan:
“Anda harus punya rasa ingin tahu yang sangat besar, sebegitu besarnya sehingga ketika Anda mendapati tembok yang bersih tanpa coretan atau tempelan selebaran, Anda bertanya mengapa tembok ini bisa begitu bersih.”
Tanyakan mengapa … dan kemudian mengapa tidak
Jadi bagaimana Anda melatih rasa ingin tahu?
Tentu saja dengan latihan. Dengan latihan tersebut otak Anda secara otomatis akan selalu mengajukan pertanyaan.
Coba untuk memaksa diri Anda untuk mengajukan pertanyaan yang tidak bisa dijawab hanya dengan melihat, mendengar, atau membaca.
Salah satu latihan yang bisa dilakukan adalah dengan membaca sari atau lintasan berita di surat kabar dan ajukan pertanyaan sebanyak mungkin.
Dengarkan Reaksi Anda.
Cermati reaksi awal Anda atas satu berita atau kejadian. Apakah orang lain memberikan reaksi yang sama? Bagaimana tanggapan mereka ketika Anda mempertanyakan reaksi tersebut?
Lakukan latihan ini setiap hari. Dari sini, besar kemungkinan, Anda akan menemukan sesuatu yang tidak didapat orang lain.
Michael Crick adalah wartawan BBC di program berita Newsnight:
“Bahkan untuk berita yang setiap hari selalu muncul, tanyakan kepada Anda sendiri, apa yang baru dari berita tersebut?”
Satu hal yang perlu disyukuri adalah, untuk memicu pemikiran yang orisinal, Anda tak perlu untuk mengetahui masalah. Yang diperlukan adalah rasa ingin tahu yang besar. Berikut pengalaman seorang editor senior saat pertama kali mendapatkan penugasan sebagai wartawan BBC:
“Saya ditugaskan di kota baru. Saya tak punya kontak, tak tahu dari mana harus memulai kerja. Kemudian Perdana Menteri, ketika itu dijabat Margaret Thatcher, mengumumkan embargo perdagangan terhadap Uni Soviet, menyusul invasi negara tersebut ke Afghanistan.
Sekilas berita ini tak berhubungan dengan tugas saya sama sekali. Kemudian saya coba hubungi pengusaha setempat yang dikenal sebagai eksportir kenamaan. Saya juga menelepon seorang tokoh Partai Konservatif.
Pengusaha ini kecewa dengan kebijakan pemerintah karena merugi akibat embargo. Wawancara saya menjadi berita utama di radio, yang kemudian ditindaklanjuti oleh koran setempat dan TV regional.”